Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Bercerita dengan Alat Peraga pada Anak Usia Dini

A. Konsep Bercerita
Storytelling is the conveying of events in words, and images, often by improvisations or embellisment. Stories or narratives have been shared in every culture as a means of entertainment education, cultural preservation, and in stilling moral valuem Crucial elements of stories and storytelling include plot, characters, and narrative point of view. (Sobol & Neile, 2012)

Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi atau hanya sebuah dongeng yang dikemas dalam bentuk cerita yang dapat didengarkan dengan rasa menyenangkan. Pada pendidikan anak usia dini, bercerita merupakan salah satu metode pengembangan bahasa yang dapat mengembangkan beberapa aspek fisik maupun psikis anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Nurgiyantoro (2014) berpendapat bahwa bercerita merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Artinya, dalam bercerita seseorang melibatkan pikiran, kesiapan mental, keberanian, perkataan yang jelas sehingga dapat dipahami oleh orang lain.

Dengan kata lain, bercerita adalah salah satu keterampilan berbicara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain dengan cara menyampaikan berbagai macam ungkapan, berbagai perasaan sesuai dengan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, dan dibaca.

Kegiatan bercerita merupakan kegiatan yang bermakna dalam kaitannya dengan perkembangan anak. Alasan cerita sebagai sesuatu yang penting bagi anak, dapat disimak pada uraian berikut:
  1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak di samping teladan yang dilihat anak tiap hari.
  2. Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
  3. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.
  4. Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik, sekaligus memberi pelajaran bagi anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat. 
  5. Bercerita memberikan barometer sosial pada anak, nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti patuh pada perintah orangtua, mengalah pada adik, dan selalu bersikap jujur.
  6. Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada pelajaran budi pekerti yang diberikan melalui penuturan dan perintah langsung.
  7. Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan suatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.
  8. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orangtua.
  9. Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan demikian itu menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian di sekelilingnya.
  10. Bercerita memberikan daya tarik bersekolah bagi anak karena di dalam bercerita ada efek rekreatif dan imajinatif yang diperlukan anak seusia taman kanak-kanak. Kehadiran cerita membuat anak lebih memiliki kerinduan bersekolah.
  11. Bercerita mendorong anak memberikan "makna" bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang suatu masalah dari sudut orang lain. (Itadz. 2008: 20-21).
Arti pentingnya cerita bagi pendidikan anak taman kanak-kanak, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan guru dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur kehidupan dalam bentuk cerita atau dongeng. Kemampuan guru menjadi tolok ukur kebermaknaan bercerita. Cerita untuk anak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Hanya saja prioritas penikmatnya berbeda.

Meskipun demikian, membuat cerita untuk anak tetap harus memenuhi persyaratan. Membuat cerita anak, terlebih cerita tertulis, membutuhkan ketekunan, pendalaman, pengendapan, kejujuran, pertanggungjawaban, penelitian, energi yang besar, dan pengetahuan tentang pembacanya itu sendiri. (Epstein, 1991 dalam Bunanta, 2000) .

Untuk konsumsi anak taman kanak-kanak, cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang sesuai untuk mereka, antara lain tema moral dan kemanusiaan atau tema binatang. Di samping itu, sebaiknya tema yang disajikan bersifat tradisional berbicara pertentangan baik dan buruk, perseteruan antara kebenaran dan kejahatan. Tema tradisional sangat penting karena bersifat pedagogik dan berperan dalam pembentukan pribadi anak untuk mencintai kebenaran dan menentang kejahatan.

Amanat cerita harus menjadi perhatian pula. Hasil pengamatan mengungkapkan bahwa, anak yang diberi cerita yang terlalu dekat dengan permasalahannya menjadi kehilangan gairah untuk menyimak cerita. Anak memiliki kepekaan untuk mengetahui bahwa dirinya sedang menjadi objek sindiran. Hal ini perlu dicermati guru dalam memilih dan menampilkan amanat dalam cerita. Amanat yang terlalu mensarati atau membebani mengurangi daya pesona cerita.

Logika kemampuan anak taman Kanak-kanak masih terbatas, maka plot atau alur cerita yang ditampilkan harus sederhana, tidak terlalu rumit. Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif. Anak taman kanak-kanak memerlukan tokoh cerita yang jelas dan sederhana. Tokoh-tokoh sederhana membantu anak-anak dalam mengidentifikasikan tokoh jahat dan tokoh baik. Tokoh sederhana hanya memiliki satu sifat saja, baik saja atau buruk saja. Cerita anak boleh terjadi dalam latar atau setting apa pun, asal sesuai dengan perkembangani kognisi dan moral anak-anak. Setting waktu yang tepat adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak seperli besok dan sekarang. Perincian waktu sebaiknya dihindari agar anak tidak terbebani mengingat detail waktu sehingga melupakan amanat cerita.

Cerita merupakan dunia yang diciptakan melalui kata-kata. Dunia itu diciptakan, dibangun, ditawarkan, dan diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata. (Nurgiyantoro, 2011; 164). Cerita dengan media bahasa harus dapat dipahami pembaca atau pendengarnya, oleh karena itu bahasa yang digunakan harus sesuai dengan tingkat usia, sekolah, dan pendidikan pembaca atau pendengarnya. Bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak seusia taman kanak-kanak ditandai sifat-sifatnya, sebagai berikut:
1. Kosakata sesuai tahap perkembangan bahasa anak:
  • Cerita untuk anak usia empat tahun berisi kata-kata mudah yang didasarkan pada kurang lebih 1.500 kata yang diperoleh anak. Untuk anak usia lima tahun didasarkan pada sekitar 3.000 kata dan untuk anak usia enam tahun didasarkan pada sekitar 6.000 kata.
  • Kosakata yang digunakan tidak bermakna ganda sehingga akan menyulitkan anak dalam memahami cerita.
  • Kata-kata yang dianggap penting dapat diulang-ulang dalam penceritaan.
2. Struktur kalimat sesuai tingkat perolehan anak:
  • Cerita untuk anak yang berumur empat tahun berisi kira-kira empat kata dalam satu kalimat, anak lima tahun lima kata, dan anak enam tahun enam kata. Hal tersebut didasarkan pada teori Piaget tentang perkembangan struktur kalimat anak.
  • Kalimat yang panjang baiknya dipecah menjadi beberapa kalimat.
  • Dapat diperkenalkan pada berbagai jenis dan kalimat: kalimat aktif, kalimat pasif, dan kalimat majemuk misalnya.
1. Manfaat Cerita untuk Anak
Cerita sangat bermanfaat bagi pengembangan anak. Berikut irti dapat disimak beberapa pandangan mengenai manfaat cerita.
  1. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif membentuk pribadi dan moral anak. Melalui cerita, anak dapat memahami nilai baik dan buruk yang berlaku pada masyarakat.
  2. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi. Cerita dapat dijadikan sebagai media menyalurkan imajinasi dan fantasi anak. Pada saat menyimak cerita, imajinasi anak mulai dirangsang. Imajinasi yang dibangun anak saat menyimak cerita memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah secara kreatif.
  3. Memacu kemampuan verbal anak. Cerita dapat memacu kecerdasan linguistik anak. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi.
  4. Menurut Depdikbud (2008) disebutkan bahwa jenis-jenis bercerita, terdiri atas:
  5. Bercerita dengan peraga adalah kegiatan bercerita dengan menggunakan alat peraga dalam maksud untuk memberikan kepada anak suatu tanggapan yang tepat mengenai hal-hal yang didengar dalam cerita. Alat-alat peraga yang digunakan ialah alat peraga langsung dan alat peraga tak langsung.
Adapun uraian dari bercerita dengan alat peraga langsung dan alat peraga tak langsung dapat penulis jelaskan, sebagai btrikut:
  • Alat peraga langsung adalah alat peraga yang digunakan untuk bercerita dengan menggunakan benda-benda yang sebenar-benarnya.
  • Alat peraga tak langsung adalah alat peraga yang digunakan untuk bercerita dengan menggunakan benda-benda tiruan, antara lain adalah:
Buku cerita adalah gambar-gambar yang digunakan sebagai alat peraga dalam bentuk buku yang melukiskan jalannya cerita. Gambar seri, yaitu alat peraga dalam bentuk lipatan yang melukiskan jalannya cerita. Bercerita dengan papan planel ialalf alat peraga yang digunakan dengan papan planel dan guntingan gambar-gambar yang melukiskan hal-hal yang ada dalam cerita yang disajikan.

2. Manfaat Metode Bercerita
Dengan bercerita sebagai salah satu metode mengajar di pendidikan anak usia dini khususnya, maka ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh meliputi:
  • Kegiatan bercerita memberikan sejumlah pengetahuan sosial nilai-nilai moral keagamaan.
  • Kegiatan bercerita memberikan pengalaman belajar untuk melatih pendengaran.
  • Memberikan pengalaman belajar dengan menggunakan metode bercerita memungkinkan anak mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
  • Memberikan pengalaman belajar yang unik dan menarik, serta dapat mengatakan perasaan, membangkitkan semangat dan menimbulkan keasyikan tersendiri.
B. Jenis Alat Peraga
Bercerita untuk anak-anak dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga. Beberapa teknik alat peraga yang dapat digunakan menurut (Mullen 2014), antara lain:

1. Peraga Gambar
Alat peraga gambar dapat terdiri dari: gambar seri, gambar lepas, dan gambar planel. Cara menggunakan peraga gambar, sebagai berikut:
  • Memilih gambar yang bagus sesuai isi cerita berukuran agak besar, dicetak dalam kertas relatif tebal, memiliki tata warna yang indah dan menarik.
  • Mengurutkan gambar terlebih dahulu, kuasai dengan baik detail cerita yang dikandung oleh gambar dalam setiap lembarnya.
  • Memperlihatkan gambar pada anak secara merata sambil terus bercerita. Gambar harus selalu menghadap anak.
  • Sinkronkan cerita dengan gambar, jangan sampai salah mengambil gambar.
  • Gambar pada posisi sebelah kiri atau di dada, tidak menutup wajah si pembawa cerita.
  • Jika perlu digunakan telunjuk untuk menunjukkan objek tertentu dalam gambar demi kejelasan, seperti: menunjuk pohon, dan hewan.
  • Sambil bercerita, memperhatikan reaksi anak, amati apakah anak memperhatikan gambar atau tidak.
2. Read a Story Aloud Story (Buku Cerita)
Cara menggunakan peraga read a story aloud, yaitu: 
  • Membaca terlebih dahulu sebelum dibacakan di depan anak, pastikan tempat duduk di depan agar dapat dilihat dari berbagai arah.
  • Sampaikan tata tertib selama menyimak cerita, jangan terpaku pada buku, perhatikan juga reaksi anak pada saat membacakan buku.
  • Sampaikan identitas buku, seperti: judul dan pengarang agar anak menghargai karya orang lain.
  • Memegang buku di samping kiri bahu, bersikap tegak lurus ke depan.
  • Membaca dengan lambat dengan kualitas tutur yang lebih dramatis daripada penuturan biasa.
  • Saat tangan kanan menunjuk gambar, arah perhatian disesuaikan dengan urutan cerita.
  • Tetap bercerita saat tangan membuka halaman berikutnya.
  • Pada bagian-bagian tertentu berhentilah sejenak untuk memberikan komentar atau untuk memberikan kesempatan anak berkomentar.
  • Memperhatikan semua anak dan berusahalah untuk menjalin kontak mata dengan anak. Perhatikan apakah anak masih berminat menyimak cerita atau sudah mulai menunjukkan kebosanan.
  • Seringlah berhenti untuk menunjukkan gambar kepada anak dan pastikan semua anak dapat melihat gambar tersebut.
  • Pastikan semua jari selalu dalam posisi siap untuk membuka halaman selanjutnya. 
  • Membaca sesuai rentang atensi anak. Gunakan waktu tidak lebih dari 10 menit. 
  • Libatkan anak dalam cerita agar terjalin komunikasi ke semua arah anak.
Alat peraga dapat menggunakan alat-alat yang terdapat di sekitar rumah ataupun di sekolah. Alat peraga juga berfungsi untuk memvisualisasikan apa yang telah diceritakan. Jika teman bercerita tentang bunga dan pot bunga yang berteman baik, maka untuk memvisualisasikan cerita tersebut dapat menggunakan pot bunga yang sudah berisi bunga. Bunga tidak harus bunga dan pot bunga sungguhan, namun dapat juga pot yang berupa mainan, atau bahkan dapat membuat pot dan bunga dari kertas berwarna-warni. Alat peraga juga dapat membuat pencerita semakin pandai menemukan ide, alat apa yang akan dia gunakan untuk bercerita. Agar membuat suasana menjadi lebih hidup, bisa juga membuat suasana atau setting tempat seperti tempat terjadinya peristiwa. Bila cerita tersebut terjadi di taman, suasana tempat bercerita dapat disulap menjadi seperti taman dengan bunga-bunga dan kupu-kupu buatan. [ Sumber : Dra. Lilis Madyawati, M.Si, Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak, Prenamedia Group, Jakrta, 2016]

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Cahaya Perdana di Google News