Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Black Box, “Kotak Hitam” yang Bisa Bercerita Banyak Setelah Pesawat Terbang Nahas

CahayaPerdana.com - Ingat black box, ingat kecelakaan pesawat terbang. Pasalnya, benda yang terbuat dari aluminium dan baja itu memang paling banyak dibicarakan orang setelah ada pesawat nahas. Mengapa? Soalnya benda ini bisa mencatat sejumlah data keadaan pesawat sejak tinggal landas. Bahkan juga percakapan di kokpit. Kalau tiba-tiba pesawat jatuh dan tak ada lagi yang selamat, ia justru bisa bercerita banyak.

Orange jadi hitam
Nama asli benda ini sebenarnya cukup mentereng, flight data recorders (perekam data pesawat) disingkat FDR. Tapi ia lebih populer dengan 'panggilan' kotak hitam. Padahal warnanya oranye. Ini sudah internasional.

Awal mula adanya si kotak hitam dalam pesawat terbang ini agaknya bisa dirunut 78 tahun silam. Waktu itu Civil Aeronautics Board, AS memerintahkan pada setiap pesawat udara komersil untuk memasang instalasi FDR. Keputusan itu menyusul sering terjadinya kecelakaan pesawat tanpa bisa diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Pesawat hancur, awak dan penumpang tewas. Lalu dapat catatan data dari mana? Sayang sekali, dengan meletusnya Perang Dunia ke II, pengembangan FDR macet.

Baru pada pertengahan tahun 1950 soal FDR dikutak katik lagi. Ada sebuah konsorsium teknik non-profit yang bekerja untuk mencari standar teknis bagi sebuah FDR. Kelompok kerja itu disponsori oleh sejumlah perusahaan penerbangan. Dari situ lalu muncul standar yang disebut dengan istilah ARINC 542. Yang bisa merekam lima parameter penerbangan yakni ketinggian, kecepatan udara, kompas, arah pesawat (heading) dan percepatan (vertical acceleration). Oleh Federal Aviation Administration (FAA), perangkat semacam itu lalu jadi syarat utama untuk memberi sertifikat dan ijin operasional setiap pesawat terbang.

Pada tahun 1958 buat pertama kalinya ada perusahaan yang merancang FDR. Tidak lain adalah Lockheed. Dalam waktu singkat produknya dipesan banyak perusahaan. Bahkan 40% negara non komunis di dunia menggunakan produk itu. Selain Lockheed, ada dua perusahaan lain yang ikut membuat FDR. Yaitu Fairchild Weston dan Sundstrand Corporation. Mereka juga membuat apa yang disebut cockpit voice recorder (CVR).

Selang 9 tahun kemudian ada keharusan lagi, tiap pesawat harus dilengkapi juga dengan mikrofon di dalam kokpitnya. Maksudnya untuk merekam percakapan awak pesawat. Untuk kerjaan macam itu, CVR lah bagiannya.

Tahan Bakar
Baik FDR mau pun CVR dirancang dengan tingkat ketahanan yang tinggi. Medium perekamnya tahan bakar sampai 1000 derajat Celcius. Lemari titaniumnya yang berbobot 2268 gram itu juga tahan bantingan. Mekanisme perekaman ini juga harus mampu menahan getaran sekeras apa pun, tanpa distorsi. Namun juga tidak mengurangi masuknya data. Buat perlindungan lebih jauh, semua perekam itu dipasang tahan getar di ekor pesawat.

Antara FDR dan CVR mempunyai wujud yang hampir sama. Berupa sebuah kotak persegi panjang dengan lebar 9 cm dan tinggi 16 cm. CVR lebih pendek, cuma 31 cm, sedang FDR sekitar 50 cm. Beratnya tergantung pembuatnya, tapi bisa berkisar antara 9-13 kg. Warna luarnya kuning cerah atau yang internasional berwarna oranye. Di pinggirnya ada strip berupa pita yang bisa memantulkan cahaya. Ini sangat membantu buat mencarinya kalau misalnya nyemplung ke air. Kotak ini juga bisa mengeluarkan suara mendesing dalam getaran 37,4 khz bila tenggelam dalam air atau salju beku. Bunyi itu bisa dideteksi sampai kejauhan 4000 km, selama 13 hari, sampai tingkat kedalaman 6000 m.

Analog dan Digital
Dalam dunia penerbangan dikenal adanya dua jenis FDR. Yakni yang analog dan digital. Analog FDR merekam data dalam lempengan metal. Kotak hitam jenis ini memiliki sejumlah sensor (alat pungut data) yang akan mengukur parameter penerbangan. Tiap sensor dihubungkan dengan semacam jarum baja yang akan merekam tiap parameter tadi dengan jalan menggores di lempengan metal. Dalam lempengan itu kelak akan berbekas goresan mikroskopis seperti grafik. Tentu saja nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Dengan bantuan peralatan khusus, para ahli lalu menerjemahkan goresan itu menjadi data konkret.

Tapi sitem analog itu kini makin digeser oleh yang lebih mutakhir. Tidak lain adalah digital FDR. Dibanding pendahulunya, ia dirasa lebih akurat. Perangkat ini merekam data yang disuplai oleh Light Data Acquisition Unit (FADU) yakni semacam unit penerima data penerbangan.

FADU, yang kerap disebut "fahdoo" mengumpulkan data analog dalam bentuk loncatan-loncatan gelombang. Data itu sendiri diperolehnya dari sejumlah sensor yang tersebar di beberapa bagian pesawat. Kemudian data itu dirubah dalam bentuk satuan digital, yakni angka 0 dan 1. Untuk merekam data ini digunakan pita magnetik 1/4 inci dengan kapasitas 25 jam.

Bongkahan digital FDR kalau dibuka akan terlihat adanya dua bagian pokok. Di paruh pertama terdapat papan sirkuit dan tape-drive motor. Bagian ini tak dilengkapi perlindungan tahan api. Soalnya kalau terbakar pun, bagian ini tak akan memberikan data. Yang lebih penting terletak di paruh kedua. Di situ terletak alat rekam dan putar ulang serta pita perekamnya. Yang ini dikemas dalam kotak berlapis bahan tahan panas.

Sejak awal tahun 1970, seiring dengan munculnya pesawat berbadan lebar macam Boeing 747, DC 10, dan L 1011, penggunaan digital FDR makin meluas. Soalnya pihak FAA di AS misalnya memutuskan bahwa tiap pesawat yang dapat sertifikat setelah 30 September 1969 harus dilengkapi dengan kotak hitam jenis ini. Dan minimal harus mampu merekam 17 parameter penerbangan. Kenyataannya justru banyak perusahaan penerbangan yang malah pingin mengeruk data lebih banyak. Boeing 747 misalnya dilengkapi dengan kotak hitam digital yang mampu mengukur 100 jenis data pesawat. Mau tahu harganya? Sekitar 12.000-15.000 dollar AS (sekitar 175 juta rupiah).

Aman
Satu lagi perekam data pesawat adalah CVR. Desainnya hampir sama dengan FDR. Cuma maksudnya lain. CVR dirancang untuk merekam percakapan di kokpit. Di ruangan itu terpasang sejumlah channel (saluran) mikrofon. Percakapan antar awak pesawat. Tentu saja bukan berupa obrolan, tapi kontak mereka dengan petugas kontrol di darat. Bahkan pengumuman sang pelayan (pramugara/i) kepada penumpang pun bisa turut direkam.

Proses analisa (membaca) kotak hitam dilakukan dengan bantuan perangkat komputer. Perangkat itu harganya cukup mahal sehingga tak semua negara memilikinya. Yang tak punya biasanya cukup mengirim kotak hitamnya ke negara lain yang punya.

Baik FDR maupun CVR sebetulnya tak bisa mencegah terjadinya kecelakaan pesawat. Tapi informasi yang dikumpulkannya bukan tak berguna. Datanya bisa dipakai bagian teknik untuk memonitor bagaimana pesawatnya tampil di udara. Seksi perawatan juga dapat masukan yang berarti. Ia juga penting buat bagian kru untuk melihat tingkat ketelitian dan kecermatan para awak. Pihak pembuat pesawat bisa memanfaatkannya untuk menciptakan produk yang lebih aman. Dan ahli meteorologi pun bisa lebih banyak belajar tentang gejala cuaca yang membahayakan penerbangan. Jadi, meski kotak hitam ini tak bisa mencegah musibah langsung, ia bisa membuat orang lebih mengenali kemungkinan manusia membuat kesalahan.

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Cahaya Perdana di Google News